Rabu, 07 Oktober 2015

Jangan Mati, Sebelum Melihat Pesta Kematian

“Jangan mati sebelum melihat pesta kematian” kalimat ini terlintas saat kedua kaki kecil ku mulai menapak Bumi Toraja. Melanjutkan perjalanan ku di Makassar, aku bergeser sidikit ke Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan yang menyimpan keunikan budaya yang tiada tandingannya di dunia. Alasan ini lah yang menjadikan Tana Toraja sangat dikenal di kalangan wisatawan mancanegara.

Menempuh 8 jam perjalanan dari kota Makassar menuju Kabupaten Toraja Utara membuat pinggang dan lutut ku lelah serta sedikit membosankan. Syukurlah, pemandangan bukit-bukit hijau yang menjulang tinggi di kanan dan kiri mampu membunuh rasa bosan ku. terlintas di benak ku “worth it kah perjalanan ku ini ?”. “Selamat Datang di Tana Toraja”, rasa lelah dan kantuk menghilang seketika bak disiram kopi Toraja saat itu ketika sadar telah sampai di Rantepo.

Rute perjalanan dari Kota Makassar menuju Kabupaten Toraja Utara
Gapura penyambutan yang terdapat di pintu masuk Desa Rantepao - Tana Toraja


Tak sabar untuk segera turun dari mobil dan Melihat deratan rumah adat khas Toraja yang dihiasi susunan tanduk kerbau serta ukiranya yang khas di setiap dinding-dinding Tongkonan, mengesankan. Ini, kali pertamanya aku berkunjung ke negeri sejuta cerita and… speechless ! Tongkonan-tongkonan disini lengkap dengan ornamen2 khas tana toraja, serta tanduk kerbau yg di susun rapi meningkat ke atas di depan rumah adat nya. Semakin tinggi tanduk kerbau yg terpasang di depan rumah, menunjukan semakin tinggi pula status sosial sang pemilik rumah.

Tongkonan yang terlihat dari pintu gerbang Desa Kete'Kesu
 Tongkonan yang saling berhadapan dan berbaris rapih, memenuhi desa Kete'Kesu
Ornamen dan susunan tanduk kerbau yang melambangkan status sosial pemiliknya. Semakin banyak tanduk yang tersusun, maka semakin tinggi status sosial keluarga yang mendiami tongkonan tsb.

Tidak hanya tongkonan yang aku lihat di Desa Ke’tekesu ini, aku pun di ajak menuju Londa tempat melihat dan memasuki kuburan batu yang terletak di dalam goa. Peti dan tengkorak pun berserakan sepanjang pintu masuk Ke’tekesu sampai dengan di dalam goa. Tengkorak yang berserakan tersebut tidak boleh dipindah sembarangan, untuk memindahkannya diperlukan upacara adat terlebih dahulu.

Londa (Tampak Luar)
 Tumpukan peti berisikan jenazah yang terdapat di tiap-tiap dinding goa, semakin tinggi peti yang di taruh di dinding goa maka semakin tinggi pula derajat atau status soisal dari jenazah yang dikuburkan
 Tengkorak dan tulang belulang yang terdapat di luar maupun di dalam goa tidak dapat dipindahkan / digeser sembarangan. Perlu upacara adat untuk memindahkan atau menggeser tengkorak dan tulang belulang tsb.

Dari Ke’tekesu aku melangkah lagi menuju Lemo, merupakan kuburan yang dibentuk di dinding bukit dan awalnya khusus diperuntukan bagi bangsawan suku Toraja. Ada lebih dari 70 buah lubang batu kuno menempel di dindingnya dan padanya disimpan patung kayu (tao-tao) sebagai representasi dari mereka yang sudah meninggal. Tidak semua orang Toraja bisa dibuatkan tao-tao, hanya kalangan bangsawan saja yang berhak dibuatkan tao-tao dan itu pun setelah memenuhi persyaratan adat.

Kuburan Lemo yang terlihat dari depan

Puas mengunjungi Lemo, aku berbalik badan untuk melihat kuburan lainnya seperti Kambira. Fungsi Kambira sama dengan Londa dan Lemo, namun lebih di peruntukan bagi bayi dibawah umur lima tahun (balita). Kuburan bayi ini disebut Passiliran, Lokasi Pekuburan Bayi ini  di Kambira. Hanya Bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh dikuburkan di dalam sebuah lubang di pohon Tarra‘. Bayi bayai tersebut dianggap masih suci. Pilihan Pohon Tarra‘ sebagai pekuburan karena pohon ini memiliki banyak getah, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dan mereka menganggap seakan akan bayi tersebut dikembalikan ke rahim ibunya. Dan berharap, pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian.

Pohon Tarra, digunakan untuk menguburkan bayi yang belum tumbuh gigi dan konon pohon Tarra memiliki getah sebagai air susi untuk bayi-bayi yang di kuburkan didalamnya.


Langit pun mulai sedikit menghitam, tanda hujan akan turun. Tak selang beberapa lama rintik-rintik air langit jatuh dan kabut pun mulai turun ke Bumi Toraja saat itu. Aku berlari menuju mobil tanpa memperdulikan lagi sang Tour Guide yang sedang asyik menceritakan sejarah Kambira. Udara Tana Toraja semakin dingin, kabut sore itu mulai turun ke pedesaan, mantel bulu angsa pun rasanya tak cukup hangat menutupi tubuh kecilku ini. Pak supir membawa kami pada suatu kedai kopi sederhana di sudut pasar, tokonya yang imut dengan material kayu pada setiap ruang dan dindingnya serta tak ketinggalan pula susunan tanduk kerbau membuat ku merasa hangat ditengah dinginnya Tana Toraja.  Terlihat seorang gadis muda membawa nampan dan secangkir kopi hitam Toraja lengkap dengan asapnya yang mengepul datang menghampiri meja ku, perlahan ku seruput kopi itu dan hangatnya seketika mengusir dingin di tubuhku. Sluuuurrrpp... yumm !

 Kedai Kopi Toraya, daat di temukan di pasar Rantepao
Souvenir yang terdapat di pasar Rantepao

It's a wonderful journey to visit Tana Toraja. Memanjakan setiap wisatawan yang berkunjung dengan sajian alam dan budayanya yang memukau. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar